Saturday, July 5, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeArtikelBerlebih-lebihan yang Menyusahkan

Berlebih-lebihan yang Menyusahkan

Oleh : Ust Drs Nasri Bukhari MPd, Ketua DPW Hidayatullah Sulsel

HidayatullahSulsel.com — Allah ta’ala dalam firmanNya
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah:185].

Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya mudah difahami, mudah dilaksanakan, hingga mudah pula digapai tujuannya, yakni mendapatkan ridho dan diridhohi oleh Allah SWT.

Islam diturunkan untuk menuntun manusia kepada jalan keselamatan. Menyelamatkan dari kegelapan kepada cahaya Ilahi (minadhzulumati ilannuur).

Dalam aplikasinya, Islam adalah agama yang sangat manusiawi, kandungan ajarannya tetap up to date disepanjang zaman. Karena bisa sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman. Sehingga Islam bisa dengan mudah dianut oleh semua manusia dan semua bangsa.

Sesuai dengan pemahaman konprehensif dari ajaran Islam yaitu ‘kaafatan linnas wa Rahmatan lil’alamiin’

Prinsip mempermudah dan tidak mempersulit juga tergambar pada penghargaan terhadap potensi akal yang dimiliki manusia. Dimana tidak boleh ada unsur keterpakasaan pada seseorang dalam menjalankan agama Islam ini “Tidak ada paksaa. dalam agama” (QS.2;256)

Tidak hanya terlarang memaksakan dalam ber-Islam, Rasulullah SAW juga melarang penganutnya berlebih-lebihan dalam menjalankan syariatnya. Hatta dalam masalah pengabdian maupun peribadatan kepada Allah Ta’ala dan menjalankan sunnah oleh kecintaan kepada Rasulullah SAW.

Berikut ini adalah hadist yang mengkisahkan larangan Rasulullah SAW terhadap sikap berlebih-lebihan dalam mengikuti sunnahnya

Dalam satu hadits riwayat Imam al-Bukhari dikisahkan, “Suatu hari datang tiga orang sahabat ke istri-istri Nabi. Mereka semua penasaran dengan laku ibadah Nabi. Sebagai orang yang tinggal serumah, istri Nabi tentu lebih tahu detail aktivitas Nabi, termasuk dalam hal ibadah._

Kunjungan tiga sahabat itu tidak diketahui oleh Rasulullah. Begitu mereka mendengar penjelasan apa dan bagaimana ibadah Nabi, mereka heran, ternyata ibadah Nabi tidak sesuai dengan ekspektasi yang mereka bayangkan. Dalam pandangan mereka, sebagai Nabi yang tentu memiliki tingkat spiritualitas tinggi, ibadahnya pasti luar biasa. Tapi realitasnya tidak demikian.

Mereka pun berkesimpulan, “Wajar Nabi ibadahnya sedikit begitu, ia kan sudah dijamin mendapat ampunan dari Allah. Kalau kita? Ya tetap harus berlomba dalam beribadah. Siapa yang ibadahnya paling hebat, dia lah yang pahalanya terbanyak,” hemat mereka.

Sejurus kemudian, mereka bertekad untuk beribadah dengan lebih melangit lagi. Ada yang berjanji akan melaksanakan shalat malam selamanya. Ada pula yang bersikukuh untuk berpuasa setiap hari. Bahkan, ada juga yang mantap menyatakan untuk membujang seumur hidup demi fokus beribadah.

Tekad ‘konyol’ mereka ini sampai ke telinga Rasulullah. Segeralah Rasulullah menemui mereka. “Apa betul kalian yang berkata demikian?” Nabi mengawali. “Demi Allah, aku adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Tapi tidak selamanya juga aku shalat malam, tidak setiap hari pula aku berpuasa, dan aku juga tetap menikahi wanita!” Lanjut Nabi,

“Siapa yang tidak menyukai sunnahku, ia bukanlah dari bagianku!” tegas Nabi.

Berkaitan hadits di atas, Ibnu Hajar menjelaskan, ibadah yang dilakukan dengan terlalu berambisi, justru bisa menyebabkan rasa bosan. Kalau sudah bosan, semangat ibadah turun. Lain lagi jika ibadah dilakukan dengan sewajarnya (tidak malas-malasan, juga tidak berlebihan), hasilnya adalah ibadah dikerjakan dengan konsisten. Ibnu Hajar, Fatḫul Bârî, juz IX, h. 7). Disadur dari NU.Online.

Hadist tersebut juga secara gamblang Rasulullah SAW menegaskan bahwa bersikap washatiyah meeupakan prinsip amalan dari sunnah Rasul, baik dalam hal ibadah maupun dalam hal menteladani peri kehidupan Rasul.

Tidak berlebihan dalam Sunnah

Ajaran Islam itu diturunkan tidak untuk memaksakan diri hingga berlebih-lebihan dalam melaksanakannya yang di luar batas kewajaran. Bisa jadi berlebih-lebihan itu berakibat mencelakakan dan mendzholimi diri sendiri.

Sekalipun hal itu untuk beribadah sebagai wujud cinta kepada sunnah Rasulullah SAW, tetaplah tidak diperintahkan berlebihan-lebihan.

Termasuk dalam hal ini ketika menyebut-nyebut nama beliau. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam Shahih Bukhari, yang disebutkan hadits riwayat Ibnu Umar, Nabi bersabda:
لا تُطْروني كما أَطْرت النصارى ابنَ مريم؛ إنما أنا عبده، فقولوا: عبد الله ورسوله
“Janganlah kamu memujiku sebagaimana orang Nasrani memuji putra Maryam. Aku tidak lain kecuali hamba, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Larangan Bersikap Berlebih-lebihan

Berlebih-lebihan tidak hanya memberatkan dan menyusahkan tapi juga bisa berakibat membosankan Yang biasanya awalnya semangat menggelora dalam beribaidah.lalu bisa menimbulkan kelelahan serta kebosanan.

Yang sebelumnya ahli ibadah menjadi sebaliknya, secara perlahan menurun dan menjauh dlm menjalankan perintah Allah dan sunnah Rasul.

Oleh karenanya Rasulullah melarang perbuatan ini dalam sabdanya:
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “هلك المُتَنَطِّعون -قالها ثلاثا-“.
[صحيح] – [رواه مسلم]
Abdullah bin Mas’ūd -raḍiyallāhu ‘anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan.” Beliau mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim)

Istiqomah dan Pertengahan

Kehidupan ini sempurna dan bahagia bila selalu berjalan di atas dasar keseimbangan. Demikian halnya ketika menjadi pribadi muslim, dia adalah pribadi yang bahagia ketika hidupnya berkeseimbangan dan tidak berlebih-lebihan dalam semua hal, termasuk dalam urusan ber-Islam

“Demikian Kami jadikan kamu ummatan wasathan (umat petengahan) supaya kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas perbuatan kamu…” (QS.2:143)

Abu Sa’id mengatakan bahwa yang demikian itu adalah firman-Nya, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil”, al-wasat artinya adil.

Ayat ini sangat sejalan dengan prinsip keseimbangan. Allah SWT memberikan sebuah predikat yang mulia bagi umat muslim, dengan istilah yang sangat indah yaitu ummatan wasathan. Predikat ini dimaknai dengan umat pertengahan, yakni umat terbaik, pilihan, adil dan seimbang dalam kehidupannya

Wahai saudaraku, diantara keunggulan suatu amalan dari amalan lainnya adalah amalan yang rutin (kontinu). Walaupun sedikit akan mengungguli amalan lain yang tidak dilaksanakan dengan rutin, meskipun jumlahnya banyak-.

Rutin atau istiqomah lebih dicintai oleh Allah Ta’ala. Dasarnya hadist dari Aisyah radhiyallahu ’anha, Rasulullah mengatakan
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”

Istiqomah dalam menjalankan perintah Allah dan RasulNya, juga sebagai bentuk keseimbangan kemampuan kita. Menjaga rasa bosan bisa jadi akan muncul.

Amalan sedikit yang rutin, lebih baik dari pada penuh semangat berlebih-lebihan yang dapat menyusahkan. Rasulullah memerintahkan melakukan amalan yang dirintai Allah, sesuai kemampuan dan rutin.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

”Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit. (HR.Muslim, no.782)

Waallahu A’lam Bishshowaf.(*)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments