Friday, July 4, 2025
Google search engineGoogle search engine
HomeArtikelLulusan Hebat Bukan Dilahirkan, Tapi Dibentuk

Lulusan Hebat Bukan Dilahirkan, Tapi Dibentuk

Oleh: Syaifullah Mujahidin, M.Pd.*

Beberapa hari terakhir, kampus-kampus di seluruh Indonesia—baik sekolah tinggi, institut, maupun universitas—serentak menggelar prosesi wisuda. Namun di balik kemeriahan perayaan kelulusan, muncul pertanyaan yang menggelitik: apakah institusi pendidikan tinggi saat ini benar-benar meluluskan lulusan yang berkualitas, atau sekadar menjaga angka dan kuantitas?

Pertanyaan ini tidak lahir begitu saja. Ia muncul di tengah berbagai kasus yang meresahkan, seperti pemalsuan ijazah atau sengketa keabsahan karya ilmiah tokoh publik dari perguruan tinggi ternama. Fenomena semacam ini menggugah kesadaran kita: ada sesuatu yang perlu direnungkan kembali dalam sistem pendidikan kita hari ini. Tulisan ini adalah upaya sederhana untuk memulai perenungan itu.

Menjadi lulusan hebat bukanlah hasil dari anugerah genetik atau bakat bawaan sejak lahir. Ia adalah buah dari proses panjang pembentukan karakter dan kompetensi. Pendidikan tinggi bukanlah jalur cepat menuju kesuksesan. Ia adalah kawah candradimuka tempat mahasiswa ditempa melalui tantangan akademik, interaksi sosial, kegagalan, dan pencarian jati diri. Dalam proses itulah ketangguhan terbentuk dan kehebatan lahir secara perlahan.

Masih banyak yang percaya bahwa kecerdasan akademik semata atau latar belakang keluarga terpelajar menjadi penentu utama keberhasilan seseorang di dunia kampus. Namun sejarah dan kenyataan hari ini membuktikan sebaliknya. Banyak tokoh besar, inovator, dan pemimpin dunia berasal dari keluarga sederhana, bahkan dari latar yang tidak dianggap istimewa. Yang membedakan mereka adalah kemauan untuk belajar tanpa henti, kegigihan dalam menghadapi hambatan, dan semangat untuk terus berkembang.

Setiap mahasiswa, tanpa kecuali, memiliki peluang yang sama untuk tumbuh menjadi pribadi unggul. Yang menjadi pembeda adalah kesiapan masing-masing dalam mengikuti ritme akademik—ritme yang menuntut kedisiplinan, keuletan, dan keterbukaan terhadap perubahan. Kampus bukan hanya tempat untuk hadir di kelas dan mengerjakan tugas, melainkan ruang pembentukan jati diri yang menyeluruh.

Proses ini mencakup lebih dari sekadar pengetahuan teoretis. Ia mencakup penguatan karakter, pembiasaan berpikir kritis, keterlibatan dalam organisasi, kepekaan sosial, serta internalisasi nilai-nilai kejujuran dan etika. Nilai akademik hanyalah salah satu dimensi. Nilai adab, kepribadian, dan kontribusi sosial juga menjadi bagian penting dari pembentukan lulusan yang paripurna.

Lulusan hebat sadar betul bahwa gelar bukanlah puncak, melainkan bekal untuk langkah selanjutnya. Mereka tidak terpaku pada IPK tinggi saja, tetapi juga mengasah kemampuan komunikasi, kepemimpinan, kerja sama, dan integritas. Dunia kerja kini tidak hanya mencari individu yang pintar secara akademik, tetapi juga mereka yang tangguh, solutif, adaptif, dan beretika.

Siapa pun bisa menjadi lulusan hebat, asalkan bersedia menjalani proses pembentukan diri dengan sungguh-sungguh. Gagal bukan akhir dari segalanya, dan keberhasilan bukan alasan untuk berhenti belajar. Kehebatan adalah hasil dari perjalanan panjang yang dijalani dengan niat, usaha, dan ketulusan.

Pada akhirnya, kuliah adalah sarana formal untuk memperoleh kerangka keilmuan. Namun tugas seorang lulusan tidak berhenti di sana. Ijazah hanyalah selembar legitimasi; maknanya baru utuh ketika dibarengi dengan karya nyata. Sejauh mana pengetahuan yang dimiliki mampu berkontribusi bagi kemajuan umat dan peradaban? Itulah pertanyaan yang seharusnya terus membimbing langkah para lulusan.

Maka jangan pernah berhenti berkarya. Jadikan setiap pencapaian sebagai bukti nyata bahwa ijazah kita bukan sekadar simbol akademik, tapi cermin dari pengabdian yang bermakna.

*) Pengajar di Pesantren Hidayatullah Towuti, Luwu Timur

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_imgspot_img

Most Popular

Recent Comments